Kompetensi Komunikasi dalam Pengajaran Bahasa



Ahdi Riyono
Dosen FKIP Universitas Muria Kudus



             Kompetensi komunikasi adalah sebuah konsep yang menjadi topik pembicaraan selama empat dasawarsa terakhir. Berbicara kompetensi komunikasi tidak lagi hanya membicarakan karakteristik struktur dan kognitif, tetapi lebih menekankan pada implikasi sosial, kultural, dan pragmatik. Menurut Mondada dan Doehler (2004:502-503) aktivitas berinteraksi  merupakan pengalaman pembelajar yang berkaitan dengan kompetensi komunikasi. Kemampuan komunikasi tidak hanya berhubungan dengan potensi otak seseorang. Zuengler dan Cole (2005) serta Watsongegeo dan Nielsen (2003) menegaskan bahwa konsep sosialisasi dalam pemerolehan bahasa sangat penting untuk penelitian pemerolehan bahasa, dan sosialisasi tersebut memberikan banyak sumbangan untuk pemahaman konpleksitas kognitif, kultural, sosial, dan politik pembelajaran bahasa.
          Perspektif konstruktivis sosial memandang bahasa sebagai komunikasi interaktif antar individu, yang masing-masing memiliki identitas sosial budaya. Para peneliti pun mengkaji wacara, interaksi, pragmatik, dan negosiasi sebagai bahan untuk menghasilkan kompetensi komunikasi. Pembelajaran bahasa asing pun bergerak kearah penciptaan makna melalui tindak negosiasi antar personal dalam pembelajaran bahasa. Kompetensi komunikasi telah menjadi sebuah istilah yang akrab  dalam SLA (Second Language Aquisition), dan padanannya. Pengajaran komunikatif masih menjadi istilah yang tepat untuk penelitian dan pengajaran terkini.
            Istilah Communicative Competence diperkenalkan oleh Dell Hymes (1972, 1967). Ia mengkritisi istilah kompetensi yang dikemukakan Chomsky (1965) terlalu sempit pengertiannya. Menurut Hymes kreatifitas yang ditentukan oleh kaidah menurut Chomsky  dalam perkembangan tata bahasa anak usia 3 atau 4 tahun tidak cukup menjelaskan kaidah-kaidah sosial dan fungsional bahasa.
Oleh karena itu, Hymes menyebut Kompetensi komunikasi sebagai aspek kompetensi yang memungkinkan kita menyampaikan dan menafsirkan pesan antarpersonal dalam konteks tertentu. Savignon (1983, 9) mengatakan bahwa kompetensi komunikatif tergantung pada kerjasama semua partisipan yang terlibat.
            Pada tahun 1970-an, penelitian tentang kompetensi komunikasi telah membedakan antara kompetensi linguistik dan komunikatif (Paulston, 1974; Hymes, 1967). Karya berpengaruh yang dijadikan bahan rujukan hampir semua diskusi tentang kompetensi komunikasi dalam pengajaran kedua adalah buku karya Michael Canale dan Merrill Swain (1980). Mereka membagi empat komponen yang membangun konsep kompetensi. Kompetensi gramatikal adalah aspek kompetensi komunikasi yang meliputi tentang leksikal, kaidal morfologi, sintaksis, semantik, kalimat tata bahsa, dan fonologi (Canlale & Swain, 1990:29).
       Kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk keseluruhan rangkaian tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari percakapan sederhana hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebaianya).
       Jika kompetensi gramatikal berfokus pada tata bahasa taraf kalimat, kompetensi wacana berurusan dengan hubungan antar kalimat. Kompetensi Sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial budaya bahasa dan wacana. Kompetensi sosiolinguistik mensyaratkan pemahaman tentang konteks sosial saat bahasa digunakan; peran para partisipan, informasi, dan fungsi interaksi. Hanya dalam sebuah konteks utuh penilaian bisa dilakukan terhadap kelayakan tuturan tertentu.
        Kompetensi Strategis adalah konsep yang luar biasa kompleks. Cane dan Swain (1980:30) menggambarkan kompetensi strategis sebagai strategi komunikasi verbal dan non-verbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi kemandekan dalam komunikasi karena kompetensi yang tidak memadai. Sedangkan menurut Savignon (1983:40) kompetensi strategis adalah strategi-strategi yang digunakan seseorang untuk mengimbangi pengetahuan yang tidak sempurna tentang kaidah atau faktor-faktor yang membatasi penggunaan strategi-strategi itu seperti keletihan, kelalaian, atau tidak memperhatikan.
        Pendekanya, kompetensi inilah yang mendasari kemapuan kita untuk melakukan perbaikan, mengatasi kekurangan pengetahuan, dan menopang komunikasi dengan penyederhanaan, penyampaian tidak langsung, pengulangan, keraguan, pengindraan, dan terkaan, maupun pergeseran register dan gaya.
        Yule dan Tarone (1990:181) menyebut kompetensi strategis sebagai kemampuan memilih sebuah sarana efektif untuk melakukan sebuah tindak komunikasi yang memungkinkan pendengar/ pembaca mengenali rujukan yang dimaksud. Seseorang pembicara handal mempunyai dan mampu menggunakan sebuah kompetensi strategis yang canggih. Seorang wiraniaga dapat menggunakan strategi-strategi komunikasi tertentu yang membuat sebuh produk tampak menggiurkan.
         Model kompetensi komunikasi Canale dan Swain (1980) ternyata mengalami modifikasi selama beberapa tahun. Pandangan yang lebih baru dikemukakan oleh Lyle Bachman (1990). Ia menyebut kompetensi komunikasi dengan istilah kompetensi bahasa. Ia menempatkan kompetensi gramatika dan wacana (disebut tekstual) di bawah satu cabang, yang disebut kompetensi organisasional: semua sistem yang menentukan apa yang bisa kita lakukan dengan bentuk-bentuk bahasa, baik pada tataran kalimat atau kaidah yang mengatur bagaimana mengikat kalimat-kalimat menjadi sebuah wacana.

          Kompetensi sosiolinguistik menurut Canale dan Swain dibagi menjadi dua kategori pragmatik: aspek-aspek fungsional bahasa (kompetensi ilokusioner), berhubungan dengan pengiriman dan penerimaan pesan yang dimaksud), dan aspek-aspek sosiolinguistik (yang membahas tentang pertimbangan-pertimbangan seperti sopan santu, derajat formalitas, metofora, register, dan aspek-aspek bahasa yang terkait secara kultural. Bachman juga menambahkan kompetensi strategis sebagai elemen yang sepenuhnya terpisah dari kemampuan komunikatif.  Dengan demikian,  dalam pengajaran bahasa, semua kompetensi yang dapat menunjang keberhasilan berkomunikasi, harus menjadi perhatian dan bahan pertimbangan dalam memilih strategi pembelajaran.